Jumat, 26 Juni 2020

About Coffee

Kebiasaan di dunia mengatakan ‘Coffee’?

Dalam bahasa Inggris, kita menggunakan kata Coffee, yang memiliki asal-usul dalam abad ke-16. Ini berasal dari caffe Italia, yang kahve Turki, dan qahwah Arab.
Keumuman dalam bahasa inggris adalah Coffee yang memiliki asal-usul dalam abad ke 16 serapan dari kata Caffe (Italia) serapan lagi dari Kahve (Turki) dan kembali serapannya ke asal tanamannya yaitu Qohwah (Arab).
Beberapa bahasa lain ditemukan kata atau derivatif:
    Urdu: Coffee
    Welsh: coffi (diucapkan ko-FEE)
Dalam banyak bahasa di seluruh dunia, huruf ‘k’ lebih disukai daripada huruf ‘c’ namun kata itu diucapkan dengan cara yang sangat mirip misalnya :
    Afrikaans: koffie (diucapkan Coffee)
    Belanda: koffie (diucapkan Coffee)
    Esperanto: KAFO
    Jerman: der Kaffee (diucapkan kah-FEE, maskulin, yang “K” dikapitalisasi karena semua kata benda Jerman dikapitalisasi)
    Finlandia: kahvi
    Hindi: kofi (diucapkan KOH-Fee)
     Rusia: kofe (diucapkan koe-Fee)
lalu dimana kata ‘Café’ Digunakan?

Café (diucapkan ka-Fey) digunakan lebih luas daripada Coffee dan berbagai bahasa lebih suka, termasuk Perancis, Italia, dan Spanyol. Ini diduga telah dimulai di Italia dengan caffe, mengacu pada wilayah Kaffa di Ethiopia.
Jadi menurut kesimpulan yang ada, anda cukup aman ketika keliling dunia meminta kopi menggunakan kata kafe.
    Italia: caffe (diucapkan KA-Fee)
    Perancis: café
    Spanyol: el café
    Bengali / Bangla: café
    Catalan: cafe
    Galician: café
    Irlandia: Caife
    Portugis: café
    Rumania: Cafea (diucapkan café-ah)
    Thai: kafea atau ca-fea
    Vietnam: ca phe (diucapkan ka Fey) atau cafe

Sekali lagi, kita perhatikan banyak bahasa lebih memilih untuk menggunakan ‘k’ di kafe, meskipun pengucapan jarang perubahan.
    Albania: kafe (diucapkan KA-fey)
    Basque: kafea atau akeuta
    Bulgaria: kafe
    Creole: kafe
    Denmark: kaffe (diucapkan kah-Fey)
    Yunani: Kafes (diucapkan ka-fes)
    Creole Haiti: kafe (diucapkan kah-Fey)
    Ibrani: ka-feh
    Macedonia: kafe
    Maltese: kafe
    Norwegia: kaffe
    Swedia: kaffe
    Wolof: kafe
Beberapa bahasa Eropa menggunakan akhir yang lebih lembut, lebih seperti ‘fee’ daripada ‘fay.’
    Islandia: kaffii ‘
    Latvia: KAFIJA (diucapkan ka-fee-ya)
    Luxembourg: Kaffi (seperti di Jerman, semua kata benda dikapitalisasi)
Bahasa China dan tetangganya yang menarik. Mereka terdengar sangat mirip dengan café, tetapi ketika mereka mengeropakan mereka membaca sedikit berbeda.
    Cina (Kanton): ga feh
    Cina (Mandarin): Kafei (baik konsonan berada dalam “nada pertama,” yang berarti bahwa pengucapan dalam nada yang tinggi).
Taiwan: ka fei (sama seperti Mandarin)

Dari Tempat asalnya kopi

Sangat penting untuk diingat bahwa kopi diperkirakan berasal di Timur Tengah dan Afrika Timur, khususnya di perkebunan Yaman dan Ethiopia. Ini juga di mana banyak kata untuk kopi dimulai.
Misalnya, biji kopi mendapatkan nama mereka dari kombinasi “Kaffa,” area Ethiopia utama penghasil kopi, dan “bun.” Juga, Mocha adalah sebuah kota pelabuhan di Yaman yang menjadi nama karakter citarasa dari biji kopinya, sedangkan kini kita sering menggunakannya untuk membuat minuman cokelat seperti latte mocha atau kopi coklat yang dinamakan mochacino.
Namun, kata-kata untuk kopi di bahasa yang digunakan di negara-negara di bawah ini sangat berbeda dari seluruh dunia.
    Ethiopia Amharic: buna (diucapkan boona)
    Ethiopia Semit: Bunna, buni, atau bun
    Arab: qahioa, qahua atau qahwe (Suara ‘q’ diucapkan rendah di tenggorokan, sehingga mungkin terdengar lebih seperti ‘Ahua’ ke pendengaran non-Arab.)
Di Mesir dan beberapa daerah lainnya, kopi biasanya disajikan dengan gula. Untuk memesan tanpa gula, mengatakan “qahua sada.”

Sebagian benua ucapan ‘Kava’ menjadi kata populer untuk kopi.

Mengambil dari kata qahwah bahasa Arab, kata Turki kahveh dikembangkan. Hal ini menyebabkan banyak bahasa Eropa Timur menggunakan kava kata untuk kopi.
    Turki: kahveh (diucapkan kah-VEY)
    Belarusia: kava
    Kroasia: kava
    Ceko: kava (diucapkan kaava) atau kafe
    Lithuania: kava
    Polandia: kawa (diucapkan kava)
    Slovakia: kava (diucapkan kah-va)
Ukraina: Kavy atau kava
Beberapa bahasa di wilayah yang sama ini memiliki sedikit variasi pada kava:
    Georgia: qava atau chai
    Hungaria: Kave (diucapkan KAH-vey)
    Serbia: KAFA
    Slovenia: kávé
    Yiddish: kávé

Bahasanya Pulau Pasifik  lebih Memilih ‘Kopi’

Ketika kami pindah ke pulau-pulau di Samudera Pasifik, kita melihat lebih banyak variasi kopi ketika berbicara tentang kopi.
Daerah pulau-pulau pasifik termasuk diantaranya adalah negara kita Indonesia kita temukan memakai kata Kopi, padahal di daerah-daerah ini terutama Indonesia lebih banyak memiliki variasi kopi yang unik akan citarasanya sesuai dataran tempatnya di tanam tetapi lebih punya bahasa yang seragam.
    Filipina / Tagalog: kape
    Hawaiian: Kope
    Indonesia: kopi (Untuk bahasa lampung biasa menyebutnya ‘Kahuwa’ jika masih mentah, dan akan bilang ‘Kupi’ jika telah diseduh)
    Korea: keopi atau ko-Pyi
    Melayu: kawah atau Koppi
    Sinhala (Sri Lanka): kopi
    Tamil (Sri Lanka): kapi-kottai atau kopi
Untuk negara-negara terakhir ini lebih sering menggunakan kata ‘Coffee’, namun ada pengecualian ketika mereka mengucapkan Coffee di daerahnya masing-masing dan ini memang terdengarnya agak unik.
     Armenia: surch (diucapkan suurch) atau sourdj
     Estonia: kohv
     Jepang: koohii
     Ojibwe: muckadaymashkikiwabu (secara harfiah berarti “obat air hitam”
     Persia: qéhvé
     Swahili: Kahawa
     Zulu: ikhofi
Demikian berbagai 70 bahasa untuk meminta kopi di seluruh dunia. Mulai sekarang semoga anda tidak bingung lagi ketika keliling dunia….

Minggu, 21 Juni 2020

ANAK-ANAK YANG MATI RASA

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
---

Kelak akan tiba masanya, seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, orangtua berpayah-payah mendidik anak, tetapi anaknya memperlakukan emaknya seperti tuan memperlakukan budaknya. Dan aku takut peristiwa itu akan terjadi di masa ini, masa ketika anak-anak tak mengenal pekerjaan rumah-tangga, dan pesantren maupun sekolah-sekolah berasrama lainnya tak lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar tentang kehidupan. Anak-anak itu belajar, tetapi hanya mengisi otaknya dari pengetahuan yang dapat diperoleh dari Google. Sementara tangannya bersih tak pernah mencuci maupun melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya, sehingga empati itu mati sebelum berkembang. Tak tergerak hatinya bahkan di saat melihat emaknya kesulitan bernafas seumpama orang hampir mati disebabkan ketuaan atau sakitnya kambuh, tetapi anak tak bergeming membantunya. Apalagi berupaya melakukan yang lebih dari itu.

Aku termangu mengingat nasehat Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengenai tanda-tanda hari kiamat, salah satunya dari hadis panjang yang kali ini kita nukil ringkasnya:
.
سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا
.
“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
.
.
Ibunya bukanlah seorang budak. Bukan. Ibunya orang merdeka. Tetapi anak-anak itu tak tersentuh hatinya untuk cepat tanggap membantu ibunya. Padahal membantu saat diminta adalah takaran minimal bakti kepada orangtua. Takaran di atas itu, tanpa diminta pun ia sudah tergerak membantu. Dan di atasnya lagi masih bertingkat-tingkat kebaikan maupun kepekaan seorang anak tentang kebaikan apa yang sepatutnya ia perbuat terhadap kedua orangtuanya.

Ada yang perlu kita renungi. Ada airmata yang perlu mengalir, menadahkan tangan mendo’akan anak-anak dan keturunan kita, menangisi dosa-dosa, berusaha memperbaiki diri dan tetap tidak meninggalkan nasehat bagi anak kita karena ini adalah haknya. Nasehat. Ia adalah kewajiban kita untuk memberikannya meskipun mereka tak memintanya. Kitalah yang harus tahu kapan saat tepat memberikan nasehat sebab semakin memerlukan nasehat, justru kerapkali semakin merasa tak memerlukan nasehat.

Hari ini, betapa banyak anak yang di sekolah berasrama tak diajari mengurusi kehidupan pribadinya karena makanan siap saji setiap waktu makan, hanya perlu berbaris untuk mengambilnya. Sedangkan pakaian pun tak perlu ia menyempatkan waktu mengatur jadwal agar bersih saat mau digunakan, sementara tugas sekolah tetap tertunaikan. Tidak terbengkalai. Maka di saat mereka pulang, kita perlu melatih tangan dan juga hatinya agar tanggap. Bukan menyerahkan begitu saja kepada pembantu. Tampaknya ini hanya urusan pekerjaan rumah-tangga yang sepele, tetapi di dalamnya ada kecakapan mengelola diri, mengatur waktu dan lebih penting lagi adalah empati.

Apakah tidak boleh kita menggembirakan mereka dengan sajian istimewa saat mereka pulang dari pesantren? Boleh. Sangat boleh. Tetapi hendaklah kita tidak merampas kesempatan mereka untuk belajar mengenal pekerjaan rumah-tangga, menghidupkan empati dan mengasah kepekaannya membantu orangtua. Liburan adalah saat tepat belajar kehidupan. Bukan saat untuk libur menjadi orang baik sehingga seluruh kebaikan yang telah biasa mereka jalani di sekolah, sirna saat liburan tiba. Mereka seperti raja untuk sementara, sebelum kembali ke penjara suci.

Diam-diam saya teringat, konon di sebuah sekolah bernama Eton College, semacam Muallimin di Inggris tempat anaknya raja maupun anak orang sangat kaya bersekolah, para siswa diharuskan mencuci dan menyeterika bajunya sendiri. Bukan bayar laundry. Ini bukan karena orangtua mereka fakir miskin. Bukan. Tetapi karena dalam urusan sederhana itu ada kebaikan yang sangat besar bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka menjadi lebih peka tentang apa yang seharusnya dilakukan saat menjadi pemimpin perusahaan, termasuk dalam mengelola waktu.

Apa yang dilakukan di Eton College sebenarnya bukan barang baru, tetapi saya merasa perlu menghadirkan kisah ini selintas hanya untuk menggambarkan betapa anak-anak memerlukan latihan untuk mengasah kepekaannya, menghidupkan empatinya dan meringankan langkahnya membantu orangtua. Mereka sangat perlu memiliki semua itu karena dua alasan. Pertama, ketiganya (kepekaan, empati dan kemauan untuk meringankan langkah) sangat mereka perlukan dalam menjalani kehidupan bersama orang lain, baik ketika berumah-tangga maupun berdakwah dan mengurusi ummat. Artinya, minimal semua itu mereka perlukan untuk meraih kehidupan rumah-tangga yang baik, tidak terkecuali dalam mendidik anak. Kedua, ketiganya mereka perlukan untuk dapat berbuat kebajikan bagi kedua orangtua (birrul walidain) dengan sebaik-baiknya. Dan birrul walidain merupakan salah satu kunci kebaikan yang dengan itu anak dapat berharap meraih ridha dan surga-Nya Allah ‘Azza wa Jalla.

Jadi, urusan terpentingnya bukan karena kita kewalahan lalu perlu bantuan mereka. Bukan. Bukan pula karena kita repot sehingga memerlukan kesediaan mereka untuk meringankan tugas-tugas kita. Tetapi hal terpenting dari melibatkan anak membantu pekerjaan di rumah dan tanggap terhadap orangtua justru untuk keselamatan dan kebaikan anak kita di masa-masa yang akan datang. Kejamlah orangtua yang tak melatih anaknya untuk berbakti kepadanya hanya karena merasa orangtua tak perlu menuntut anak membantunya. Ingatlah, kita latih, dorong dan suruh mereka agar cepat tanggap dan ringan membantu bukanlah terutama untuk meringankan beban orangtua, tetapi justru agar anak-anak kita memperoleh kemuliaan dan kebaikan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan birrul walidain. Sekurang-kurangnya tidak menyebabkan mereka terjatuh pada perbuatan mendurhakai orangtua. Dan ini merupakan serendah-rendah ukuran.

Ada yang perlu kita khawatiri jika lalai menyiapkan mereka. Pertama, anak-anak merasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua, termasuk membantu pekerjaan di rumah, bukan sebagai tugasnya. Mereka tak membangkang, tetapi lalai terhadap apa yang sepatutnya mereka kerjakan. Ini merupakan akibat paling ringan. Kedua, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang durhaka kepada orangtua. Dan karena kedurhakaan itu bersebab kelalaian orangtua dalam mendidik, maka di Yaumil Qiyamah mereka menjatuhkan orangtua di mahkamah Allah ‘Azza wa Jalla sehingga justru orang yang merasakan azab akhirat. Ketiga, sebagaimana disebut dalam hadis di atas, anak-anak berkembang menjadi pribadi yang memperbudak orangtua, bahkan setelah mereka mempunyai anak. Na’udzubiLlahi min dzaalik.

Ada yang perlu kita renungkan tentang bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Saatnya kita kembali kepada tuntunan agama ini, bertaqwa kepada-Nya dalam urusan mendidik anak dan berusaha menggali tentang apa saja yang harus kita bekalkan kepada mereka.
.
.
.
Tulisan ini dimuat di Majalah Hidayatullah edisi Desember 2019