Sabtu, 03 Januari 2009

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (Medan)


04 Feb 2008
Munzir Baraqah

Medan, Sumatera Utara

Abstrak

Didasari kesadaran untuk lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta, kita dituntut untuk lebih mendekatkan diri kepada alam dalam berbagai bentuk dan cara juga mendekatkan diri kepada sesama manusia dalam bentuk menjalin hubungan silaturahmi sehingga lebih merekatkan diri sambil berukhuwah sembari melebarkan dakwah.

Untuk mencapai misi yang penuh hikmah diatas, harapan semoga tercapai dengan melakukan perjalanan menyisir pulau Sumatra, Jawa dan Bali yang menempuh jarak tak kurang dari 7600 km dengan melalui beragam suku dan adat istiadat penduduk setempat serta menghabiskan masa 17 hari perjalanan.

Program dan schedule yang teringkas apik menjadi panduan kedisiplinan, sehingga terwujud sudah angan umtuk melepas kerinduan dan temu kangen dengan segenap sanak famili dan handai taulan yang tak mampu menghalau binar di mata yang tampak nyata setiap menyambut kunjungan dadakan yang mengusung semangat Natural dan Religius.

Situasi dan kondisi silih berganti bermakna besar sebagai kajian untuk introspeksi diri, bagaimana menyikapi hidup, bagaimana menyikapi kesenjangan hidup, bagaimana memahami diri untuk menyikapi perbedaan kultur budaya hingga sampai bagaimana menyikapi timpangnya ekosistem sebagai kajian untuk menyelamatkan ekosistem kehidupan secara keseluruhan.

Akar Rencana dan Destination pada Hari Pertama

Raga menggeliat, selimut kusibak manakala azan subuh menggema di Sabtu pagi tanggal…di Bulan September 2007, yang membuatku sontak terjaga dari alam mimpi yang telah membawa sukmaku entah kemana. Kuguyur tubuh walau dingin terasa. Air wudhu hangatkan jiwa dan batinku. Basuh kening dan wajah mengharap terhapus dosa. Sujud diatas sajadah pada Dia Maha Pencipta. Perjalanan panjang yang kunanti, kini telah diambang pintu. Sibak lamunan, tepis keraguan, hadapi tantangan untuk rampungkan bekal diperjalanan nanti.

Tepat pukul 11.00 Wib, mesin berderu menambah riuhnya hiruk pikuk lalu lintas kota Medan. Papan speedometer Toyota Avanza yang telah melalui seleksi mekanik di bengkel resmi, menunjukkan keadaan tangki bensin yang telah terisi full (Rp.175rb) dan angka penunjuk di kilometer 047065 menandakan titik awal dimulainya perjalanan, membawa Ahmad Hamonangan Ritonga alias Ucok, Hasyril Syah yang akrab dipanggil Atin dan penulis sebagai Tim Leader, siap melintasi hamparan gunung dan bukit, sungai dan laut, taklukkan hujan dan kabut, nikmati alam dan rimba yang hadirkan beraneka ragam gugusan pesona.

Sungguh tak dinyana, schedule tour yang padat meyusuri object wisata di Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam menjadi landasan Tim untuk mengambil langkah besar, langkah terencana untuk lebih mengenal alam di seantero nusantara. Berbekal pengalaman dan Bismillah, langkah menjadi ringan, fikiran menjadi tenang sehingga dapat membagi dan menyebarluaskan rincian pengalaman Tim Ekspedisi GREENSURVEYOR WAKIL selama dalam perjalanan.

Sumatra Via Lintas Timur

Bhinneka Tunggal Ika. Beragam suku, adat dan bahasa. Adakah rasa di jiwa untuk memperkaya, aneka rupa budaya, istiadat Nusantara. Sempat terbersit pertanyaan ini saat penjaja jalanan menawarkan Kerupuk Jangek (Rp.5rb) yang dipercaya dapat mengurangi gejala penyakit maag, di persimpangan Asrama Haji, Bandara Polonia, Medan.

Pertanyaan tadi tak sempat terjawab saat setengah jam selepas kemacetan akibat pembangunan Fly Over yang menambah semrawut lalu-lintas di simpang Amplas tim memasuki Kota Perbaungan, untuk tunaikan shalat dan membeli nasi bungkus (Rp.49rb) di Restorant Simpang Tiga , tepatnya di pertigaan menuju objek wisata Pantai Cermin.

Sebagai musafir, Tim meringankan waktu dengan menjamak shalat untuk mengantisipasi keadaan jalanan yang tak bisa ditebak. Nasi bungkus yang tak hangat lagi akibat kemacetan di Pusat Kota Serdang Bedagai Tim lahap ketika berangjasana ke pemondokan keluarga di Tebing Tinggi untuk meredam lambung yang telah mengeluarkan irama sumbangnya.

Sejurus kemudian, Tim telah berada kembali dibalik kemudi, bergegas meninggalkan Kota Lemang, melaju dengan kecepatan rata-rata 80 km/jam melewati perkebunan sawit dan karet menuju Kota Kerang, untuk menghadiri resepsi pertunangan salah seorang rekan sejawat.

Pertigaan Inalum atau Industri Asahan Aluminium kelihatan lengang. Simpan sejuta kebobrokan persoalan lingkungan. Mulai dari pencemaran air, udara dan hutan mangrove yang telah disulap menjadi kebun kelapa sawit.

Melewati Simpang kawat, pintu gerbang menuju Kota Tg Balai yang dulu terkesan gawat dan rawan penyelundupan, suasana kini berubah sangat, terlihat sepi. Kawasan yang dahulu banyak meninggalkan cerita, kini redup tidak menunjukkan geliat, terutama sejak Sutanto resmi menjabat Kapolri, menutup rapat perjudian import pat gulipat.

Padahal, bila ditangani secara sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin Tg Balai mampu menjadi Hongkong atau Macau kedua yang mampu mengembangkan pelabuhan bertaraf internasional, terutama bila pemerintah punya kemampuan mengoptimalkan SDM, SDA dan benar-benar berperan aktif dalam menelurkan kebijakan dan memihak pada rakyat dalam menerbitkan peraturan perundang-undangan dengan menerapkannya secara transparan dan akuntable.

Namun kondisi hutan bakau dikawasan pesisir disini jauh lebih parah dari 800 hektar hutan bakau di Desa Lubuk Bansi Kecamatan Seuruway Kabupaten Aceh Timur yang telah luluh lantak dialihfungsikan menjadi lahan kelapa sawit.

Pukul 18.00 menjelang maghrib Tim tiba di penginapan tempat kerabat Atin berkumpul menyempatkan diri bersilaturahmi sejenak, untuk selanjutnya menuju ke rumah saudari Tiwi calon mempelai saudara Atin. Berhubung hari telah beranjak malam, untuk mempersingkat waktu, setelah tunaikan shalat dan makan malam, doa restu kami pohonkan pada sanak keluarga atas kerelaannya melepas keberangkatan, terutama pada calon mempelai wanita, berhubung keikutsertaan calon mempelai pria tunaikan visi dan misinya untuk melakukan perjalanan kembali.

Jam tunjukkan pukul 20.00 Wib, ketika masuki SPBU (Rp.160rb) beberapa menit di luar kota Tg. Balai. Dari sini Tim bergerak sedikit ekstra hati-hati berhubung kakak dari saudara Atin, Hasnita yang sedang sakit parah ikut menumpang ke Pekan Baru.

Setelah shalat Isya sambil menghirup udara segar sejenak di Masjid Rantau Prapat, perjalanan Tim lanjutkan kembali menempuh jalanan jelek berlubang melalui iring-iringan mobil tangki dan truk-truk intercooler yang membawa kayu gelondongan menuju Pabrik Kertas RAPP. Sejenak berhenti mengambil beberapa momen penting terkait Illegal Logging seperti tumpukan kayu gelondongan yg tersusun rapi di depan kantor Polisi sepanjang jalan.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (RIAU)



RIAU

Hari ke-Dua

Memasuki Subuh, setelah sempat sekali rehat ngopi sejenak (Rp.16rb) jelang dini hari, sempat ku tertegun saksikan bangunan hijau berarsitektur ciamik, Masjid Al-‘Arafah yang berdiri megah di Indragiri, Duri, Kabupaten Bengkalis. Moment ini sayang untuk dilewatkan untuk sejenak bertafakkur hingga hangat pagi menjelang.

Memasuki pusat kota Duri, SPBU disambangi karena papan speedometer menunjukkan jarum yang mendekati empty. Usai pengisian (Rp.178rb), Tim plus Hasnita sarapan pagi bersama (Rp.17rb) sambil menikmati suasana kota dan keramahan masyarakat Duri.

Baru sekira empat jam menempuh perjalanan usai sarapan di Indragiri, Ucok terperangah ketika memasuki kota Pekan Baru, 10 tahun berlalu dan kini…

“Tak disangka tak diduga, Pekan Baru memang ok punya”, ujarnya. Gaya arsitektur yang bernuansa melayu, kental menyelimuti seluruh kota. Wajar menjadi sarana Convention Wisata tempat penyelenggaraan berbagai Festival.

Pekan Baru memang mempunyai konsep yang jelas dalam penanganan tata kota dan tata bangunan dengan memadukan gaya arsitektur secara menyeluruh dengan mengacu pada adat dan budaya melayu nya, seakan menyiratkan kesatuan pandang dan kebersamaan pihak eksekutif dan legislatif untuk kemajuan masyarakat yang di wakili. Untuk sekedar diketahui, salah seorang yang berperan besar dalam pembangunan kota Pekan Baru adalah Bapak Kaharuddin Nasution mantan Gubernur Sumatra Utara yang kini di tabalkan namanya pada salah satu ruas jalan di Pekan Baru.

Negara kepulauan Indonesia banyak miliki potensi destinasi tersembunyi. Magnet turis lokal dan asing. Sayang sungguh disayang, kurangnya syiar dan syair, turis pun tak tahu kemana akan pergi.

Usai menghantar saudari Hasnita dan mengisi kembali bensin (Rp.135rb), sebelum melanjutkan perjalanan ke Kota berikutnya, Tim lapar mata dan singgah untuk mencicipi mie ayam (Rp.31rb) di pojok kota Pekan Baru.

Riau ibarat siang dan malam, ada gelap ada terang. Disatu sisi menunjukkan kemegahannya, namun, disisi lain menunjukkkan kehancurannya. Pembangunan kota di satu sisi, penggundulan hutan di sisi yang lain. Bagaimana tidak, sepanjang lintas sumatra, perbatasan Riau, Duri terutama kabupaten Pelalawan yang menjadi saksi kejamnya perbuatan manusia merusak bumi. Apakah mereka tidak menyadari Iklim bumi yang terus meningkat, mencairnya es di kutub utara yang berimbas pada peningkatan volume air laut. Penyebab semua ini adalah akibat eksploitasi perut bumi yang terlalu berlebihan. Penggunaan minyak bumi, batubara, penebangan pohon dan pembangunan yang tidak memperhatikan alam lingkungan akan menyebabkan bencana maha dahsyat pada kehidupan generasi mendatang. Apa mau dikata, segelintir orang kenyang menikmati, generasi mendatang “Emang Gua Pikirin !!!”.

Sudah saatnya kita bertindak dengan cara-cara yang elegan untuk mendesak aparatur pemerintah agar bertindak tegas dengan secepatnya memeriksa sejumlah pejabat terutama kepala pemerintahan yang terlibat illegal logging tanpa takut terhadap tekanan politik serta bertindak adil terhadap oknum aparat yang jadi beking atau bahkan cukong kayu itu sendiri.

“I want to Pee”, teriak Atin usik lamunan. Segera setir ku belokkan di SPBU tepat di sebelah pintu gerbang menuju Pusat Kota Pelalawan. Udara panas menyengat, terhampar bukit tandus minus pepohonan. Ku teguk Lasegar (Rp.22rb) hilangkan dahaga singkirkan gerah..

Fajar menyingsing di ufuk timur, pertanda maghrib akan segera tiba. Belokkan kemudi tunaikan shalat di Simpang Japura. Lanjutkan ngopi (Rp.30rb) dan makan malam (Rp.35rb) pengganti tenaga hapuskan penat sebelum lintasi malam, hutan dan pekat.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (JAMBI)


JAMBI

Hari ke-Tiga

Pak Polisi tegak berdiri di tiap sudut simpang Kota Jambi. Belokkan kemudi mengisi kekosongan tangki (Rp.135). Hati riang tak terperi, memasuki halaman kediaman kerabat di kota ini. Puas menikmati teh kayu aro produksi PTPN VI Jambi, usai regangkan tangan dan kaki, tak lupa jejalkan perut, semangkuk penuh indomie, perjalananpun dilanjutkan kembali. Rombongan Yusuf Kalla yang berkunjung ke Sekolah Kepolisian Negara di kota ini, seakan mengiringi kepergian kami.

Pepohonan karet di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan cukup rindang temani makan siang dibawah pohonnya. Bermodal selembar tikar yang memang sudah dipersiapkan sebelumnya, serta nasi bungkus yang dibeli (Rp.34rb) berselang baru lalu, tim makan dengan lahap diselingi canda riang dan tawa……semoga terulang kembali pengalaman mengesankan ini?

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (Sumsel)



Palembang (Prov. Sumatera Selatan)

Kemacetan akibat perbaikan jalan yang menyambut ketika azan maghrib berkumandang di Masjid Raya yang berseberangan dengan jembatan Ampera di pusat kota Palembang bukanlah menjadi halangan untuk merajut tali silaturahmi yang selama ini terpisahkan oleh jarak dan waktu.

Namun takdir berkata lain, via telepon Tim mendapat kabar keberadaan kerabat yang hendak dikunjungi ternyata sedang berada di Padang, Sumatera Barat. Ba’da Maghrib, Tim menyusuri seputaran kota dan kaki lima menuju Jembatan Ampera yang tidak jauh dari Masjid Jami’ dengan berjalan kaki.

Jembatan Ampera jembatan penuh sejarah, sedang giat berbenah agar layak menjadi ikon kota Palembang. Lampu-lampu bertebaran menerangi suasana malam, perahu dan sampan hilir mudik berhiaskan lampu berkelap-kelip, pendar cahaya temaram silaukan sungai Musi nan penuh pesona.

Masuk Angin akibat zat asam lambung yang meningkat membuat Atin sedikit emosi dan memaksa Tim singgah ke apotik di kota Palembang sebelum kami makan malam. (tips: Makanlah teratur & siapkan snack di perjalanan).

Insiden kecil sempat terjadi setiba di warung asri setelah sebelumnya ketika hendak singgah di warung pecel lele, selera makan tiba-tiba hilang melihat anjing yang mendengus-dengus di dekat meja makan. Mungkin karena sudah capek, sebelum makanan sampai dimeja, tiba-tiba ucok nyeletuk mengatakan "Aku nggak percaya kalo itu maag", spontan Hasril marah dan berkata “aku bukan Preman”.. Aku pun terkejut, kok dari masalah maag jadi masalah preman.? Aku netralisir keadaan dengan meluruskan ucapan Hasril sembari berkata, “ jangan marah dulu, ucok kan hanya mau membahas, apa- apa yg pernah dokter periksa atau kemana saja dia pernah berobat?.. bukannya tiba-tiba malah marah yg tak tau juntrungannya. Kulihat wajah Ucok yg memendam amarah, tapi masih mampu ditahannya, dan ketika Hasril hendak mengucapkan sesuatu, ketus dia menjawab,” udah, makan aja!!!”.Setelah membayar makanan (36rb) kami pun melanjutkan perjalanan dengan suasana dingin di tengah udara malam yang dingin. Perjalanan masih panjang…….

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (LAMPUNG)



LAMPUNG

Hari ke-Empat

Sensasi yang cukup bermakna walau sesaat telah jauh dibelakang meninggalkan sungai Musi. Usai isi Bensin (Rp.119rb) di Indralaya, sepertinya mata sudah tidak bisa diajak berkompromi, namun tiba-tiba kami dikejutkan kejadian tabrakan antara kijang inova yg ternyata berplat BK (Medan) kontra truk colt diesel di perjalanan menuju lampung. Mengerikan sekali, kejadian ini membuat kami menjadi lebih berhati-hati.

Setelah melalui macet panjang akibat kecelakan maut, perjalanan dihadapan hanya gelap dan gelap sehingga rasa kantuk kembali menyerang, lihat jok belakang, rekan seperjalanan pada ngorok semua, daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, mobil disinggahi ke sebuah rumah makan untuk minum kopi (Rp.36rb) dan mengistirahatkan tubuh & mata. Sekitar 2 jam kemudian, perjalanan dilanjutkan walau tidak lama kemudian kami berhenti kembali untuk sarapan pagi (Rp.10rb) di sebuah SPBU saat hangat pagi bergulir menyentuh kulit menerangi Taman Nasional Way Kambas, yang berdekatan tempat pelatihan gajah di Lampung Timur.

Kami tinggalkan SPBU tanpa mengisi bensin menuju pelabuhan yang jaraknya masih jauh. Di Lampung, Tim menemui pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) perajin bambu dan tepas disepanjang jalan negara menuju Pelabuhan penyeberangan Bakauheni. Matahari tepat di ubun, kala kenderaan tim merambat geladak kapal yang tertambat di Bakauheni - Merak setelah membayar tiket feri sebesar Rp 165 rb/mobil.

Nasi bungkus (Rp15rb) di Ferry menjadi pengganjal perut kami, sambil sesekali layangkan pandangan ke laut lepas, mengagumi alam ciptaan Tuhan. Tidak lama kemudian, kami yang beristirahat di ruang eksekutif (Rp.15rb) minus Atin yang entah kemana, mendengar kapal akan bersandar. Beberapa dari anggota tim yang belum pernah menginjakkan kaki di pulau jawa telah mempersiapkan handycam sebagai saksi dan dokumentasi GREENSURVEYOR Pulau Sumatera, Jawa & Bali.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (PANTURA)

Jawa via Pantai Utara

Banyak berjalan banyak dilihat, dari gunung sampai ke pantai, tidak hanya laut pantai selatan, tapi juga laut pantai utara. Seiring perut kapal bersandar, membuncah hasrat ‘tuk menjelajah, membuncah hasrat untuk menyusurinya. Begitu menjejakkan kaki di Tanah Jawa, sejenak hirup udara yang terasa nyaman walau polusi sesakkan dada.

Di rembang petang, kemudi mengarah ke jalur Pantura, masuki gerbang tol Jakarta-Cikampek (Rp.27rb). Disini ketahanan fisik, psikis dan kesolidan tim diuji, jarak dan waktu yang telah dan akan dilalui menyelimuti benak masing-masing peserta saat kenderaan berbelok menuju sebuah SPBU megah yang mempunyai konsep One Stop Solution, untuk kembali mengisi tangki yang memang sudah kosong (Rp.148rb).

Bulan Purnama langit Cikampek hantar diri ‘tuk rehat sejenak disebuah masjid ditemani masing-masing sebungkus nasi yang kami beli (Rp.36rb) di pintu keluar tol Cikampek. Sambil mendengar ceramah dari khatib yang sedang mengisi pengajian seusai tunaikan shalat, Tim sempatkan diri berbincang bareng pemudik yang juga sedang istirahat sambil menggali informasi jalur terbaik yang akan kami lalui. Selagi asyik berbincang, Tim melihat kedatangan pasangan suami istri yang baru mengalami kecelakaan sepeda motor yang berjalan terpincang-pincang menggendong bayinya yang alhamdulillah tidak mengalami luka sedikitpun. Setelah energi raga dan rohani terkumpul, Ba’da Isya perjalanan pun dilanjutkan menuju Indramayu.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (JABAR)


JAWA BARAT

Sekitar pukul dua dini hari sesampai Indramayu, kantuk tak tertahankan. Mobil merapat ke sebuah masjid. Namun karena terganggu oleh serangan nyamuk akhirnya kami pun pindah tidur ke mobil.


Azan subuh menggema, sadarkan kami kalau Hasril ternyata tidak ada di tempat. Namun sejurus kemudian kulihat Atin yang ternyata baru selesai di pijat, berjalan menuju mobil.


Dia mendapat cerita unik kalau gadis-gadis Indramayu terkenal ayu. Eh, jangan piktor alias pikiran kotor dulu, beliau bukan dipijat oleh gadis-gadis dimaksud, tapi, "pijat sehat biar nggak masuk angin",katanya.


Setelah membeli Aqua (Rp 5rb) perjalanan kami lanjutkan menembus pekatnya kabut pagi.


GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (Jateng)









JAWA TENGAH

Pantai Utara di Pulau Jawa, pusat syiar Islam menyebar, anugrah tim dapat berziarah ke makam Wali penyebar Syari’ah, mulai Sunan Gunung Jati hingga Sunan Ampel, dari Cirebon hingga Surabaya.


Ziarah dimulai dari makam Sunan Gunung Jati di Cirebon, Sunan Kalijaga atau R.M Syahid di Kadilangu, Demak.


Agak siangan kami masuki Masjid Demak untuk shalat di Masjid Demak. Setelah shalat kami masuki situs-situs di masjid dan melihat-lihat pekuburan raja-raja Demak.


Setelah puas kami keluar dan makan siang (20rb) aku juga membeli obat obat untuk menghilangkan masuk anign dan rasa pusing.


Perjalanan kami lanjutkan menuju Pati dan mengisi bensin di Pati (162rb) untuk meneruskan perjalanan panjang kami.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (JATIM)


JAWA TIMUR

Hari ke-6

Sunan Bonang atau Raden Makdum Ibrahim di Tuban, Sunan Muria di gunung Muria, Muria dan Sunan Kudus atau Ja’far Siddiq sekaligus melihat Menara Masjid Kudus di Kudus. Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi dimakamkan di jalan Malik Ibrahim, kampung Gapura Gresik. Sunan Drajat atau Syarifuddin. Kemudian makam Sunan Giri atau Raden Paku di bukit Giri di Gresik.

Sarapan pagi (Rp 14rb)kami di Pasuruan di warung Mbak Umi yg tampil cantik pagi itu yg belum meyediakan banyak makanan, namun sedikit kami paksa untuk menyiapkan makanan bagi kami. Pintu masuk Bromo di Pasuruan hanya bisa kami pandangi (suatu hari nanti kami akan kembali). Selanjutnya di Rembang kami makan siang (Rp 31rb). Lewat Kediri dimalam hari kami dikejutkan dengan adanya razia, namun disini keampuhan topi pemberian Fahrizal, polisi-polisi itu nggak memeriksa banyak, selain melihat surat kami yg lengkap juga kami dengar teriakan teman sesama polisi yg mengatakan ‘”ada polisinya tuh” akhirnya kami lewat dengan aman hingga memasuki tol Surabaya (Rp 7rb) pada dini hari.

Hari ke-Tujuh

Dan akhirnya team tiba di Masjid tempat dimakamkannya Sunan Ampel atau Raden Rahmat dan pengikutnya di Surabaya pada pukul 2.00 jumat pagi atau Jum’at manis menurut kepercayaan penduduk setempat, membuat ramai peziarah yang berkunjung sehingga menimbulkan suasana magis di sekitar pemakaman yang ditumbuhi pohon-pohon beringin raksasa yang sudah berusia ratusan tahun.

Sebelum memasuki masjid Sunan Ampel kami makan nasi goreng di depan masjid (Rp 10rb). Kemudian memuaskan diri dengan shalat dan ziarah kepekuburan dilanjutkan dengan tidur-tiduran di masjid. Setelah Hasril membeli jerigen untuk mengambil air sumur di Masjid Sunan Ampel kami pamit pada seorang Mahasisawa yg bertugas untuk memandu pengunjung atau peziarah. Sekitar pukul 3.00 kami berangkat dan setelah membayar parkir (Rp2rb) kami lanjutkan melewati markas AL terbesar di Indonesia.

Surabaya yang panas tidak sempat kurasakan, usai subuh, sesuai schedule, tim bergerak menuju Porong, Sidoarjo, namun langit berwarna merah saat kuteringat perkataan Mahatma Gandhi, ”Dunia ini mampu menampung kebutuhan manusia namun dunia ini tak akan sanggup memenuhi keinginan atau hawa nafsu manusia.

Setengah jam meninggalkan kota Surabaya, terlihat asap mengepul dibalik benteng yang ternyata tunggul Lapindo. tepatnya dipersimpangan lampu merah hendak berbelok kanan menuju tanggul Lumpur lapindo kami dikejutkan dengan ketukan di kaca, ternyata korban-korban lumpur lapindo yg meminta sedikit sumbangan dari pengendara. Sesaat tim sedikit berbagi, sumbangkan buah rezeki pada korban ulah grup Bakrie, yang tak henti mengeksploitasi bumi. (Kalo gua Aburizal Bakri, gua kan jual setengah asset gue untuk membuatkan rumah bagi korban Lumpur Lapindo yg sengsara akibat ulah gue yg telah mengutak-atik tanah mereka. tapi ini yg kita lihat malah sebaliknya, dia malah makin kelimis. Coba kalau dulunya perusahaannya tidak mengganggu tanah itu, pasti tidak akan ada semburan Lumpur itu. Mana tanggung jawabmu mas Rizal?).

Melewati tanggul lumpur lapindo pada dini hari itu terasa kehebohan masyarakat sekitar. Dari asap panas di kejauhan hingga rumah 2 yg telah digenangi Lumpur akibat bocornya tanggul itu. Sampai kami lupa menayakan arah jalan hingga kelewatan dan kembali memutar arah untuk menuju Banyuwangi.

Pada umumnya perusahaan industri di sekitar kawasan pemukiman penduduk hanya fokus untuk mengembangkan usaha memperoleh keuntungan berlipat ganda, tetapi kebanyakan perusahaan tersebut lupa dengan keadaan sekitarnya. Perusahaan lupa akan kepedulian terhadap sesama, lupa terhadap kewajibannya kepada masyarakat disekitar lingkungan perusahaan atau Community Social Responsibility (CSR).

Memasuki Banyuwangi kami makan siang (Rp. 23rb) sambil ngobrol dengan sesama pengunjung warung sambil men charge handphone masing-masing. tidak jauh kami berjalan, kami lihat salah satu pengunjung rumah makan tadi mengalami trouble pada kenderaanya dan ketika kami hampiri, mereka katakan sudah ditangani dengan baik. Kami pun pamit sambil melambaikan tangan dan kembali melanjutkan perjalanan.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (BALI)














Bali

Feri penyeberangan Banyuwangi-Gilimanuk (Rp.80rb) mengantar Tim dengan hati berdebar, menuju Pulau Bali yang sudah didepan mata. Wajah-wajah ramah di geladak feri seolah menyambut kedatangan Tim. Memasuki Bali aku turun sesaat untuk melihat laut lepas dan pemandangan disekitar pelabuhan sambil mengambil dan mencium tanah Bali, tak lupa juga mengeluarkan yang sudah tersimpan lama di kantung kemih,ya , pipis dulu..

Seperti tidak ada hari esok, padahal hari menjelang petang. Tim sempatkan membekukan beberapa momen di Hutan Balai konservasi dan kegiatan pemujaan di tepi pantai kawasan konservasi tempat dilindunginya pepohonan dan binatang langka yang seringkali menjadi objek buruan.

Dari informasi yang didapat dari situs Departemen kehutanan, ular sanca atau mamalia seperti biawak & kura-kura boleh diekspor, selain untuk budidaya & penelitian juga diperbolehkan untuk souvenir dalam jumlah tertentu. Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan & Konservasi Alam nomor SK 06/IV-KKH/2008 yang di tanda tangani pada 18 Januari 2008 ini, menyisakan tanya. Persoalannya, terkadang teori dengan kenyataan dilapangan bisa jauh berbeda. Para pemburu binatang, berusaha dengan segala cara, mencari celah untuk melegalkan aksinya. Mungkin saja keputusan ini akan menjadi wacana pembenaran ekspor illegalnya.

Setelah mengisi bensin di Jembrana (165rb), Tim makan malam (Rp 35rb) di Gerobogan, sambil bertanya-tanya dimana tepatnya Jalan Poppys di wilayah Kuta. Tanpa menemui kesulitan berarti akhirnya kami temukan penginapan bersih di Hotel Dua Dara di Poppyes yg berharga 80 rb/malam. Malam itu, kami tidak kemana-mana kecuali Hasril yg sudah tidak sabar hendak melangkahkan kaki menyusuri jalanan di Bali. Malam itu aku dan Ucok tidur nyenyak. Grhek… grhekg..grkhk…

Hari ke-Delapan

Bali, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, no comment, adat istiadat nya, keseniannya, kerajinannya, taman nasionalnya, taman lautnya, tanah lot nya, pantai sanur nya, ombak jimbarannya, surfing kuta nya dan banyaknya yang lainnya. Juga sebuah monumen yang layak dibangun untuk memperingati tragedi bom bali di Legian, Kuta, 202 nama korban tragedi bom bali.

Bangun pagi bukannya kuterus mandi, tapi malah ngeliat-ngeliat sekeliling hotel dari lantai 3 kamar kami sambil sesekali bercengkerama dengan bule-bule yang berasal dari Australia di sebelah kamar kami yg sibuk dengan papan selancarnya. Hasril belum juga pulang ketika kami keluar hendak sarapan di pantai kuta (Rp 18rb) yang tidak jauh dari penginapan kami di Poppies. Setelah sejenak melihat suasana di Pantai Kuta, kami kembali ke penginapan untuk mengambil kenderaan agar bisa berjalan mengelilingi tempat tempat wisata lainnya di Bali. Sekitar jam 10 pagi, Hasril yang kami tunggu-tunggu tak jua menampakkan batang hidungnya, sempat terbersit perasaan was-was, kemana gerangan si Hasril yang sama dengan kami, belum pernah menjejakkan kaki ke Pulau Bali. Apakah dia tersesat? Atau malah dapat berkencan dengan cewe-cewe bule?.. Dengan mobil kami arah kan tujuan ke Sanur sambil melihat-lihat berbagai macam kerajinan dan barang seni yg membuat hati ingin rasanya memboyong pengrajinnya ke Medan untuk dapat menularkan ilmunya ke Masyarakat di Sumut. Setiba di Sanur, kami susuri pantai yang tidak berujung melewati hotel demi hotel, sambil melihat bule-bule dan warga lokal yg kebetulan sok bergaya bule ikutan berjemur berbikini ria bahkan bertelanjang dada. Lelah kaki melangkah, kami singgah di warung yang tidak jauh dari hotel sanur beach sambil memesan minuman ringan (Rp 8rb) dan tidak lama kemudian terlibat percakapan unik dengan warga setempat yang mempunyai tubuh kekar bertato, bertampang seram plus berambut panjang melewati pantat, namun mempunyai sifat ramah yang membuat kita nyaman berlama-lama ngobrol sambil mengorek keterangan tempat-tempat mana yang layak untuk kami kunjungi berikutnya. Dari Sanur kami menuju lokasi perhotelan yang tidak sembarang orang dapat memasukinya, disinilah bakal diadakannya pertemuan IPCCC. Setelah itu kami ke Pantai yang kebetulan sedang mengadakan upacara melarungkan sesajen. Perut terasa lapar, kemudi yang kami arahkan ke Pura Tanah Lot untuk melihat matahari terbenam yang terkenal keindahannya, kami singgahkan sementara di warung penjual Mie Ayam (Rp.12rb) yang kelezatannya terasa dilidah hingga saat ini. Namun kami harus bergegas, jam sudah menunjukkan waktu pukul 5 sore, Tanah Lot masih jauh, sementara kami masih meraba-raba dimana posisi yang tepat, sambil berhenti sesekali bertanya pada orang-orang di sepanjang jalan. Ketika bus pariwisata yang kelihatannya menuju arah yang sama, kami coba ikuti dan ternyata memang tepat, kami satu tujuan. Setelah membayar tiket masuk (Rp 20rb) kami bergeagas, karena hari sudah mulai gelap. Sungguh indah pura Tanah Lot diwaktu senja, seandainya aku membawa kamera yang dapat merekam keadaan senja disini, tidak jauh berbeda dengan yang ada di foto-foto para professional yang telah mengabdikan gambar kedalam bentuknya yg sempurna. Tiba-tiba hujan turun, kamipun berlarian keluar, namun hujan makin deras hingga kami berteduh di Pertokoan yg memajang bermacam barang seni dan oleh-oleh. Mungkin sekitar 45 menit kami berteduh, walau hujan belum berhenti, kami terobos saja hujan untuk menuju ke parkiran mobil. Tanah lot kami tinggalkan, walau ada semacam ketidakpuasan karena waktu yang sempit untuk menikmati sunset di Tanah Lot, namun aku berharap akan kembali suatu hari nanti. Di perjalanan pulang kami merasa tidak enak hati karena telah meninggalkan Hasril sekian lama, sempat terpikir, apakah dia akan marah nantinya atau bermacam pikiran seandainya dia masih belum kemabali juga ke hotel. Namun ketika hendak memasuki parkiran hotel, kami lega melihat dia telah duduk santai menunggu kepulangan kami. Dan ketika mendengar kabar darinya, ternyata dia semalam bergadang dan berenjoy ria di Bounty Café yang ada di jl Legian, namun ketika pulang dia mencoba berkeliling sejenak berjalan kaki namun tersesat hingga tidak tahu jalan menuju kembali ke Hotel. Dan sampai saat ini, dia belum makan pagi, siang dan malam karena sudah kehabisan uang, puih!!!. Mendengar ceritanya kami terbahak namun sedih juga melihat teman seperjalanan yg belum makan seharian ini. Kusarankan Hasril untuk membeli Junk Food Mc Donald (Rp 20rb) yang ada didepan pantai Kuta, tepatnya disebelah Hard Rock Hotel. Selesai menemani Hasril dinner kami nikmati sejenak udara malam di Pantai Kuta, sambil melihat pasangan kasmaran yg tak merasakan dinginnya air, bercengkerama bermain air di pantai lalu kami susuri jalanan di Legian yang dijejali toko-toko dan tempat hiburan sambil melihat geliat kehidupan malam yang panas menyiratkan makna seakan malam tak pernah berakhir. Didepan Bounty Café ada warung yang menjual nasi bungkus murah meriah yang enak rasanya dilidah untuk pengganjal perut. Kami nongkrong makan disitu sambil menikmati musik live yang menghentak keras dari tempat hiburan disekitar Legian. Botol bir (Rp 20rb) ditangan bule meggoda Hasril untuk ikut mencicipinya. Setelah puas melihat bule berjojing ria, kami pamit dengan bapak si empunya warung dan menyusuri malam dengan berjalan kaki mengelilingi Pedestrian way di Pantai Kuta untuk kembali ke hotel dan bermimpi indah…

Hari ke-Sembilan

Jika di Medan, orang ber Tattoo identik dengan preman, ternyata sama sekali jauh dari sangar pemuja Tattoo di Bali. Disini, seni dan budaya benar-benar dijunjung tinggi. Pusat perbelanjaan, Hotel dan Kafe berada dalam jarak yang berdekatan, dibangun tidak menutup jarak pandang dengan garis pantai yang rapat dengan pepohonan, mudah ditempuh dengan berjalan kaki di pedestrian way yang nyaman, sungguh sangat seimbang dengan lingkungannya. Dan bila kuat untuk tetap terjaga, banyak aktifitas yang dapat dilakukan. Golf, Snorkling, Diving, Shopping, Dancing, Clubbing dll.

Kami lihat para bule berkemas mengepak papan selancarnya, rupanya mereka hendak pulang ke kampung halamannya. Setelah berbual-bual sejenak, kami turun makan (Rp 40rb) ke Pantai Kuta ditempat kami makan kemarin pagi, namu kali ini plus Hasril. Disini kami ketemu dengan anak Medan tepatnya di kawasan Perumnas Simalimgkar bernama Roy bersama abangnya yang baru menetap 2 tahun di Bali. Mereka anak-anak pantai yang hidupnya dari menyewakan papan selancar dan menjual minuman ringan sambil sesekali menemani cewe bule untuk jadi gaet atau teman kencan. Disini aku menemukan bentuk kehidupan lain yang merupakan realita kehidupan yang merupakan mata rantai yang menunjang tetap berkibarnya Pariwisata di Bali. Kami memesan minuman dan berbagi cerita tentang kehidupan anak-anak pantai, namun, walau rasanya masih ingin berlama-lama menikmati suasana pantai di Kuta Beach, waktu tak bisa kami hindari, kami harus pulang. Walau sesaat, suasana sudah sangat terasa akrab dan terjalin dengan baik, oleh karenanya mereka sangat berterimakasih ketika Teh Botol yang kami minum 3 buah, kubayar dengan uang 50rb, tanpa meminta uang kembaliannya. Sebelumnya aku membeli busur dan panah (Rp 150rb) Kalimantan untuk oleh-oleh dibawa pulang. Di Pedestrian way menuju hotel banyak toko yang menjual oleh-oleh. Beberapa kali kami singgah namun harga terasa mahal jadi kami hanya membeli seadanya saja. Setelah merekam gambar sejenak di Monumen Tragedy bom bali yg menewaskan 202 orang yang kebanyakan warga Australia, kami singgah sebentar di warung bapak yang aku lupa namanya didepan Bounty Café untuk membeli makanan (Rp 25rb) sebagai persiapan kami dijalan menuju pulang. Setelah membayar kamar berikut charge karena penambahan waktu (Rp 120rb) kami berangkat pulang, namun sempat juga berkeliling sekali mengitari pantai kuta lalu tancap gas menuju Gilimanuk. Di perjalanan pulang aku singgahi sebuah took buku untuk membeli peta pulau Jawa dan Bali (Rp 25rb) sebagai panduan karena kami tidak akan melewati jalur Pantura lagi, namun mengambil jalur yang berbeda yaitu melalui pantai selatan yang banyak melewati kawasan pegunungan dan perbukitan.

In memory, Good Bye Bali, I’ll be back someday.

GREENSURVEYOR to Sumatera Jawa Bali 2007 (Jatim-Jateng)








Jawa via Pantai Selatan

Pelabuhan Ketapang, waktu menunjukkan pukul 11.00 malam, ferry (Rp.80rb) bersandar ditengah suara petir menggelegar. Cuaca buruk hujan gerimis, suara halilintar berlomba bergemuruh tak surutkan langkah kami. Banyuwangi mendadak lengang, yang membuat bergidik apabila mengingat kejadian beberapa waktu lalu yang mengakibatkan lusinan orang terbunuh akibat isu dukun santet.


SPBU yang lengkap dan mempunyai musholla yg bersih memang menjadi pemandangan biasa di Pulau Jawa, begitu juga di Banyuwangi. Setelah mengisi bensin (Rp 140rb) kami istirahat sejenak untuk shalat dan sedikit bersitegang mengenai jalur yang akan ditempuh.


Disini Hasril menunjukkan rasa takut untuk melintasi jalur yang baru. Namun setelah diyakinkan akhirnya ia mengalah dan setuju. Disini baru kita dapat melihat. Biasanya kita hanya mendengar suasana mencekam akibat isu santet di Banyuwangi. Lalu lihat lah jalur transportasi yang mulus, sangat jauh dengan Sumut. Walau suasana malam sudah sepi, kami tetap melajukan kenderaan dengan yakin.


Hari ke-Sepuluh

Jurang yang menganga di kiri dan kanan badan jalan ditengah ketinggian pegunungan sepeninggal kota Banyuwangi untuk menghampiri Kota Lumajang yang mendadak kelam. Rute selatan penuh tantangan, disini perjalanan sesungguhnya di uji ketika tim merambah wilayah perbukitan yang sejuk, susuri pegunungan berkabut, gelitik pinggang Gunung Merapi saksikan hamparan gugusan Gunung Raung dan Gunung Kukusan, hangatnya hidangan rangkaian Semeru, Argopuro, Bromo dan Mahameru.


Sesekali kudengar mereka berdebat mengenai arah mana yg harus diikuti, namun akhirnya kami jelang pagi di Lumajang dan singgah di warung nenek yang sedikit cemberut karena nasi pecalnya tidak habis kami santap. Setelah membayar (Rp 15rb) perjalanan kami lanjutkan menuju Blitar


Pesona alam tak terlupakan, eksotisme budaya masa silam. Tantangan ekspedisi variasi hidup, membawa kami dari Kepanjen menyusuri Waduk Sutami, Waduk Kesamben dan Waduk Wlingi ke kota Blitar, di tengah suasana gerimis, ke tempat peristirahatan terakhir Bapak Proklamator RI, Ir. Soekarno.


Sesampai di Blitar, kami makan siang di Warung yg ternyata dimiliki orang Medan juga (Rp 25rb) yang tidak jauh dari makam bung Karno. Setelah berbasa-basi dengan pemilik warung yang katanya rindu kampung halaman, kami pamit menuju Makam Sukarno. Beberapa saat berziarah,dan membeli oleh-oleh di sekitar makam Sukarno, kami lanjutkan perjalanan kembali menuju Malang


Mendung bergayut, awan berarak, waktu berlalu begitu cepat, Gunung Kelud didepan mata, tunjukkan tanda gejala amarah. Dari pusat posko bencana, setelah sempatkan turut memantau aktivitas gunung berapi yang kian menunjukkan gejala aktifnya kami segera berbenah, beranjak di ambang senja, meninggalkan jejak di kaki Gunung Kelud, Kediri.


Siang di rembang petang setiba di Loceret dengan maksud menemui orang tua di Kota Nganjuk.


Sebelum memasuki Nganjuk, aku menghubungi adikku yang ada di Kalimantan untuk menanyakan alamt rumahnya yg ada di Nganjuk. Setelah dapat kami langsung ke sasaran, namun sebelumnya kami menbeli sedikit penganan (?) menjelang maghrib tiba. Suasana nyaman dan udara yg segar di kampung memang terasa sekali. Usai shalat Magrib kami berbincang-bincang melepas rindu dilanjutkan dengan makan malam. Setelah berfoto sejenak, kamipun yg sebenarnya diharapkan untuk menginap, menolak dengan halus, karena jalan masih panjang. Dipintu keluar jalan raya kami singgah untuk membeli obat pereda sakit kepala dan masuk angin untuk berjaga-jaga. Setelah mengisi bensin di Nganjuk (Rp 155rb) perjalanan dilanjutkan mengarah ke Magelang.