Sabtu, 19 Maret 2011

Sufi dan Tasawwuf


INTRO
Membicarakan sufi & tasawuf tidak lain tidak bukan kecuali sdg membicarakan orang atau orang-orang yg lebih mementingkan kebersihan batin, lebih mengutamakan perilaku untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah. Tujuan untuk mengangkat masalah ini diarahkan kepada dua arah.
Pertama, supaya masyarakat awam tidak salah tanggap, seolah-olah sufi & tasawuf adalah sesuatu yg diada-adakan & sesuatu yg berada diluar Islam sebagaimana yg dijelaskan oleh Imam Al Bushairi didalam “Burdah” nya : “Wakulluhum min Rasulillahi multamisun, Gharfan minal bahri au rosyfan minad diyami”. Yg maknanya sbb: “Semua cara yg ditempuh oleh para Ahlulhaq adalah berasal dari Rasulullah sebagai hasil yg diperoleh seseorang yg mengharapkan ilmu barang secabik dari ilmu-ilmu yg bagaikan lautan luas yg dimiliki Rasulullah, atau sekedar memperoleh setetes ilmu dari ilmu-ilmu Rasulullah yg bagaikan hujan deras itu.….”.
Kedua, arah maksudnya ditujukan “kedalam”, agar orang tidak salah meletakkan fungsi Sufi & Tasawwuf pada tempatnya, sebagai jalan untuk Ma’rifat kepada Allah SWT dengan mengumpulkan dua jalan secara berbareng, Haqiqat & Syariat sekaligus.
Untuk memahami tingkah laku ahli tasawwuf yg kalau dilihat secara sekelebatan seolah-olah bertentangan dengan ilmu syariat, Imam ‘Abdul Qadir Al Qadiri Ibnu Muhyiddin Al Irbali mengatakan : “Jikalau anda mendengar ucapan-ucapan dari ahli Tasawwuf & ahli Kesempurnaan yg pada lahirnya tidak cocok dengan syariat yg telah digariskan oleh Nabi Muhamammad SAW, sebaiknya anda mengambil sikap berhenti saja (tawaqquf) & mohon petunjuk Allah supaya bisa dimengerti..”. Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan, karena ucapan ahli-ahli Tasawwuf itu mengandung isyarat yg mengandung makna yg dalam, berupa rumusan yg tak mudah difahami, padahal hakikatnya sesuai benar dengan kandungan Al Quranul Kariem & Sunnatun Nabi. Misalnya ucapan sufi tentang rabithah atau ikatan antara murid & guru dengan syarat supaya menganggap bahwa sang guru adalah Khalifah Rasulullah. Padahal yg dimaksud dengan ucapan itu ialah Khalifah (pengganti) dari khalifahnya, khalifah yg meng khalifahi khalifah dari sekian banyaknya khalifahnya khalifah Rasulullah SAW. Sama saja dengan ucapan : Kita adalah anak Nabi Adam AS. Demikian pula perkataan yg masyhur dari Syaikh ‘Abdul Qadir Al Jailani:
Anta waahidun fis samaa-i,
Wa ana waahidun fil ardhi”,
Suatu ucapan yg sama sekali tak boleh diartikan secara harfiah, tetapi bermakna :
‘Ya Allah, Engkaulah Zat Maha Esa yg memiliki langit & bumi, sedang aku adalah orang yg mempersatukan jiwa raga untuk di bumi ini supaya dapat musyahadah kepadaMu”.
Rangkaian kata-kata demikian menurut istilah ahli bahasa Arab disebut “Budi’ Musyakalah”.

Kehidupan sufi sudah ada pada jejak para Sahabat Nabi yg pilihan, yg membagi hidup untuk perjuangan ummat disatu pihak, & sisa waktunya dipergunakan untuk bermujahadah karena hendak mengutamakan kebersihan batin & rohani, hingga termasyhur dengan sebutan: “Ruhbaanun fil lail,
Luyuutsun fin nahar”,
Artinya :
“Pesemedi-pesemedi di malam hari,
Pahlawan & Pejuang di siang harinya”.

Tasawwuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW. Hakekatnya, tasawwuf berarti mencari jalan untuk memperoleh kecintaan & kesempurnaan rohani. Ahli sufi terkemuka, Zun Nun Al-Mishri megatakan , bahwa yg dimaksud dengan tasawwuf ialah pembebasan dari ragu & putus asa, kemudian tegak berdiri beserta yaqin-iman. Ciri istimewa nya yaitu pengembalian dengan cara mutlak segala persoalan agama & kehidupan kepada kitab & sunnah. Pada umumnya, ahli-ahli tasawwuf sangat mengutamakan latihan-latihan kebersihan hati & berjaga-jaga tentang penyakit watak hati & juga sangat teliti membebaskan ibadah dari bid’ah & kekeringan zauq (perasaan jiwa). Al Junaid, penghulu sufi Islam menegaskan, bahwa yg mungkin menjadi ahli tasawwuf itu, hanyalah barang siapa yg mengetahui keseluruhan kandungan Al Kitab & Sunnah Rasulullah SAW, karena, sebenar-benar tasawwuf ialah yg memfanakan diri kedalam kemurnian Kitab & Sunnah.

PENINJAUAN FILSAFAT,PENGERTIAN & PERKEMBANGAN

Nabi Yusuf berkata pada ayahnya : “Wahai ayahku! Aku melihat dalam mimpiku sepuluh bintang, matahari & bulan, semuanya sujud kepadaku”. (Quran XI : 4)
Ibnu Arabi yg memasuki fase peralihan pada usia 38 tahun pernah mengucapkan kalimat yg menggambarkan curahan hawa nafsu & kegemaran duniawi yg ditujukan pada anak perempuan gurunya : “Demikian rupa, hatiku terpikat olehnya, pikiran & jiwaku seakan-akan terbelenggu, sehingga setiap nama yg kusebut, namanyalah yg kukehendaki, tiap kampung yg kutuju, kampungnyalah juga seakan-akan yg kumasuki.”

Pada mulanya, orang sufi ternama pun mengagumi pandangan-pandangan yg lahir, yg dapat diraba & dirasakan dengan panca indra. Tetapi, tatkala roh & jiwa mereka semakin matang, lama kelamaan, kepuasan yg dirasakan lahiriah menjadi kecil beralih ke dunia rohani, dunia yg tidak dapat diraba dengan panca indra tetapi dapat dirasa dengan kelezatan perasaan yg halus, dunia yg ghaib, berpadu dengan arti cinta & kesempurnaan. Intinya, tasawwuf itu pada zat nya berpindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yg lain, pindah dari alam kebendaaan bumi kepada alam kerohanian langit.

Tidak ada komentar: